JAKARTA,TEROPONGMEDIA.ID – Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, dari hal-hal meringankan yang hakim kenakan pada Harvey Moeis, Mahkamah Agung memang seharusnya punya panduan dalam menjatuhkan hukuman atas diri terdakwa (sentencing guideline).
Terutama agar hakim-hakim tipikor tidak gampang terkelabui oleh gestur, status rumah tangga, dan hal-hal personal non substantif lainnya.
Reza mengusulkan hal-hal yang patut dimuat dalam sentencing guideline.
“Pertama, kejahatan pertama atau kejahatan berulang. Seorang terdakwa yang diketahui telah jamak melakukan kejahatan, kendati belum pernah dimintai pertanggungjawabannya secara pidana, seharusnya disikapi sebagai penjahat kambuhan,” kata Reza Senin (30/12/2024).
Reza menilai, fakta yang terjadi adalah saat jaksa menyebut, Harvey dan smelter swasta lainnya bekerja sama dengan PT Timah Tbk membuat dua belas perusahaan cangkang atau perusahaan boneka.
Angka dua belas menjadi bukti bahwa modus culas telah terdakwa terapkan berulang. Harvey bisa disebut residivis berdasarkan reoffend (pengulangan pidana), bukan berdasarkan reentry (bolak-balik dipenjara).
Kedua, efek kerugian bagi orang banyak dan keuntungan bagi diri sendiri.
Fakta selanjutnya menurut Reza, Harvey mengakibatkan kerugian negara senilai Rp300 triliun.
Ketiga, kejahatan dilakukan terhadap target–baik orang maupun objek–yang bernilai tinggi sekaligus rentan untuk diviktimisasi.
BACA JUGA: Harvey Moeis dan Sandra Dewi Terdaftar Penerima PBI Program BPJS Kesehatan, Begini Respon BPJS
Kemudian,perbuatan Harvey dapat dimaknai sebagai bentuk eksploitasi jahat terhadap sumber daya tambang. Sumber daya ini tergolong memiliki nilai tinggi dan rentan dieksploitasi secara ilegal.
Keempat, pelaku berada dalam kondisi menyalahgunakan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA).
Kemudian, tidak ada informasi mengenai ada tidaknya riwayat Harvey menyalahgunakan NAPZA.
Kelima, peran sentral pelaku dalam aksi korupsi berjamaah. Jaksa mendeskripsikan Harvey menginisiasi kerjasama sewa alat processing untuk pelogaman Timah dengan smelter swasta yang tidak memiliki competent person. Kata “menginisiasi” yang digunakan Jaksa menunjukkan Harvey tidak berada pada posisi ikut-ikutan. Tipikor timah justru bermula pada sang inisiator.
Keenam, pengakuan bersalah dan penyesalan diri si pelaku. Dalam pledoinya, Harvey mengaku masih sangat bingung.
“Rp 300 triliun ini datangnya dari mana, Yang Mulia. Saya yakin Yang Mulia juga sama,” demikian perkataan Harvey. Kentara, tidak ada pengakuan apalagi penyesalan di dalam kalimat sedemikian rupa.
“Jika keenam hal di atas tercantum dalam sentencing guideline, maka dapat dinalar: tersedia lima hal yang sepatutnya dijadikan sebagai hal yang memberatkan hukuman terhadap Harvey,” bebernya.
(Agus/Budis)