BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Bayangkan suatu hari, bukan manusia yang menentukan arah hidup, kebijakan politik, atau bahkan keputusan perang, melainkan sistem algoritma super cerdas. Mesin yang tidak tidur, tidak lelah, dan tidak punya rasa.
Dunia yang kita kenal perlahan bergeser dari dunia yang dikendalikan oleh nalar manusia, menjadi dunia yang digerakkan oleh data dan kecerdasan buatan. Di tengah perubahan ini, satu pertanyaan besar muncul : bagaimana dengan manusia?
Sebagai mahasiswa di era digital, saya merasakan langsung betapa cepatnya laju perubahan teknologi, AI kini bukan lagi hal faturistik. Kita sudah hidup bersamanya, mulai dari filter media sosial, aplikasi pembelajaran, hingga pengenalan wajah saat presensi kuliah, semua itu bagian dari sistem algoritma.
Tapi perubahan terbesar akan datang melalui Quantum AI, teknologi buatan dan komputasi kuantum. Teknologi ini tidak hanya mempercepat pengolahan data, tapi berpotensi mengungguli kecepatan berpikir manusia.
Jensen Huang, CEO NVIDIA perusahaan pelopor chip AI pernah mengatakan dalam wawancara:
“AI adalah kekuatan teknologi paling transformatif sepanjang sejarah manusia. Jika kita tidak hati-hati, ia bisa menjadi senjata dua mata.”
(NVIDIA GTC Keynote 2023).
Coba kita bayangkan, dengan Quantum AI, sebuah sistem militer bisa mendeteksi pergerakan musuh dan memutuskan untuk menyerang bahkan sebelum manusia menyadarinya.
Negara-negara adidaya seperti AS dan Tiongkok kini berlomba mengembangkan teknologi militer berbasis AI kuantum. Ini bukan lagi skenario fiksi. Pada 2023, Angkatan Udara AS mengonfirmasi penggunaan AI untuk mengendalikan jet tempur tanpa pilot dalam latihan simulasi. (Sumber: Air Force Magazine, Nov 2023).
Ironisnya, teknologi yang kita kembangkan untuk kemajuan justru menciptakan medan perang baru. Perang modern tidak lagi bergema lewat suara bom, melainkan lewat perang data dan persepsi.
Kita melihatnya setiap hari: manipulasi informasi lewat AI di media sosial, penyebaran hoaks oleh bot, dan serangan siber pada sistem negara. Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX, bahkan pernah memperingatkan: “Dengan AI, kita memanggil iblis. Tanpa regulasi yang ketat, AI bisa menjadi ancaman eksistensial bagi umat manusia.” (Sumber: MIT AeroAstro Centennial Symposium, 2014).
Lebih dekat ke dalam kehidupan sehari-hari, kita lihat bagaimana algoritma telah menentukan pilihan-pilihan kita: mulai dari berita yang kita baca, produk yang kita beli, hingga pasangan yang kita temui di aplikasi. Seorang teman saya, mahasiswa komunikasi, berkata, “Kadang saya buka TikTok hanya ingin melihat video lucu, tapi ujung-ujungnya malah terbawa arus propaganda politik atau iklan yang tak saya butuhkan.” Itu contoh nyata bagaimana teknologi mencuri perhatian dan arah berpikir tanpa kita sadari.
Tokoh teknologi Indonesia, Onno W. Purbo, dalam berbagai forum juga pernah menegaskan: “Kita tidak bisa menolak AI, tapi kita bisa memilih untuk tidak menjadi budaknya. Literasi digital harus dimulai dari kampus.” (Sumber: Webinar Literasi Digital Kemkominfo, 2022).
Masalah lain yang tak kalah penting adalah kesenjangan digital. Server AI dan pusat data kuantum memerlukan energi dan infrastruktur besar. Di Jakarta, kita bicara tentang smart city dan digitalisasi pendidikan. Tapi di Papua, masih ada sekolah tanpa listrik dan sinyal. Inilah bentuk baru dari kolonialisme digital mereka yang punya akses dan teknologi akan berkuasa, sementara sisanya hanya menjadi pasar atau ladang data.
Sundar Pichai, CEO Google, pernah mengingatkan dalam wawancara dengan 60 Minutes CBS: “AI adalah salah satu ciptaan paling penting umat manusia lebih besar dari api atau listrik. Tapi kita harus memastikan ia dikembangkan secara bertanggung jawab.”(Sumber: 60 Minutes, CBS, 2023).
Sebagai mahasiswa, kita berada di persimpangan. Kita adalah generasi pertama yang tumbuh dengan AI, dan mungkin generasi terakhir yang masih bisa membentuk regulasinya. Maka dari itu, kita harus kritis, bukan hanya konsumtif. Kita perlu menggunakan AI sebagai alat bantu belajar bukan untuk mencontek tugas atau menghindari berpikir.
Kita perlu mengajak komunitas kampus untuk memahami bagaimana AI bekerja, bagaimana data dikumpulkan, dan bagaimana etika digital harus ditegakkan.
Saya percaya bahwa di balik krisis, selalu ada kesempatan. Generasi muda Indonesia bisa memimpin narasi AI yang etis dan berpihak pada manusia. Kita tidak harus menjadi programer atau ilmuwan komputer. Tapi kita semua harus menjadi warga digital yang sadar. Karena saat teknologi menjadi semakin pintar, manusia harus menjadi semakin bijak.
Quantum AI dan perang data adalah simbol perubahan zaman. Tapi perubahan tidak harus membuat kita kehilangan kendali. Dunia memang bergerak cepat, tapi masa depan masih bisa kita arahkan jika kita mau berpikir, bertanya, dan bersuara.
Karena pada akhirnya, dunia digital bukan milik mereka yang paling canggih, tapi milik mereka yang paling sadar. Maka dari itu, kita sebagai mahasiswa perlu beradaptasi terhadap perkembangan yang ada kita tidak bisa menghindari, menolak ataupun mengabaikan.
Penulis:
(Elsa Fitria Maharani/Universitas Bhakti Kencana)