BANDUNG,TM.ID: Buya Hamka yang memiliki nama asli Abdul Malik Karim Amrullah, merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama. ia juga dterkenal sebagai tokoh Masyumi dan ulama Muhammadiyah.
Dalam perjalannya, Hamka lekat sebagai sosok ulama besar yang gigih membela Islam dan sangat tegas dalam hal akidah.
“Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak manapun!” kata Buta Hamka setelah dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975, dikutip Artawijaya, Hidayatullah, 2 Juli 2013.
Dengan tangan dinginnya saat jadi Ketua MUI, ia berani mengeluarkan fatwa yang sampai saat ini masih memantik perdebatan, yakni mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam terkait perayaan Natal bersama.
Namun, pada 19 Mei 1981, Hamka mundur dari jabatannya sebagai Ketua MUI karena merasa tertekan oleh menteri agama waktu itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara. Buya memilih mundur daripada harus menganulir fatwa tersebut.
Hamka juga terkenal sebagai penulis, salah satu novelnya yang terkenal adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, belakangan novel ini ke layar lebar dengan judul yang sama.
Latar belakang Buya Hamka
Yusran Rusydi dalam buku Buya Hamka: Pribadi dan Martabat menulis, Buya Hamka adalah anak dari DR. Syaikh Abdulkarim Amrullah, seorang tokoh pelopor dari Gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau yang memulai gerakannyapada tahun 1906 usai pulang dari Makkah.
Syaikh lebih terkenal dengan panggilan Haji Rasul yang mempelopori gerakan menentang ajaran Rabithah, sebuah gerakan yang menghadirkan guru dalam ingatan, sebagai salah satu cara para penganut tarekat jika mulai mengerjakan suluk.
Buya Hamka lahir di saat pertentangan kaum muda dan kaum tua (1908) atau 1325 Hijriah. Buya pun akhirnya sudah terbiasa mendengar perdebatan sengit antara kaum muda dan kaum tua tentang paham agama.
Saat Buya Hamka berusia 10 tahun, tepatnya pada 1918, ayahnya mendirikan pondok pesantren “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang. Dari sana, Hamka sering melihat bapaknya menyebarkan paham dan keyakinannya.
Di akhir tahun 1924, tepat di usia ke 16 tahun, Hamka merantau ke Yogyakarta dan mulai belajar pergerakan Islam modern kepada sejumlah tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M Soerjopranoto dan H. Fakhruddin. Dari sana dia mulai mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam, yaitu Syarikat Islam Hindia Timur dan gerakan Sosial Muhammadiyah.
Kelak, Buya Hamka terkenal sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, tokoh Masyumi dan ulama Muhammadiyah.
Kehidupan Keluarga Hamka: Punya Kakak Pendeta
Masih dalam buku Buya Hamka: Pribadi dan Martabat, Buya Hamka menikah dengan Siti Raham saat usianya masih muda, tepat pada 5 April 1929. Kala itu, Hamka berusia 21 tahun, sementara istrinya berusia 15 tahun.
Dari hasil pernikahan itu, sebagaimana dicatat oleh Irfan Hamka dalam AYAH…: Kisah Buya Hamka, Hamka dan Siti Raham memiliki 10 orang anak.
1. H. Zaki Hamka (meningal di usia 59 tahun)
2. H. Rusjdi Hamka
3. H. Fachry Hamka (meninggal di usia 70 tahun
4. Hj. Azizah Hamka
5. H. Irfan Hamka
6. Prof. Dr. Hj. Aliyah Hamka
7. Hj. Fathiyah Hamka
8. Hilmi Hamka
9. H. Afif
10. Shaqib Hamka
BACA JUGA: Film “Buya Hamka” Rilis pada April 2023 Menyambut Ramadhan
Melansir Tirto, meskipun tumbuh besar dari keluarga muslim yang sangat kuat, nyatanya Buya Hamka punya seorang kakak bernama Abdul Wadud Karim Amrullah (Awka) yang menjadi seorang pendeta. Mereka adalah saudara seayah tetapi beda ibu.
Adiknya pun sudah sejak lama menggunakan nama Willy Amrull, tepatnya sejak di Amerika. Kisah itu bermula di tahun 1970, Awka menikah untuk kedua kalinya dengan seorang gadis blasteran Amerika-Indonesia, Vera Ellen George. Gadis itu awalnya bersedia masuk Islam demi menjalani bahtera rumah tangga dengan Awka.
Mereka memiliki tiga orang anak, yaitu Rehana Soetidja dan Sutan Ibrahim yang lahir di Amerika, serta Siti Hindun yang lahir belakangan di Bali. Awka membawa pulang keluarganya ke Indonesia pada 1977.
Namun, ia tak pulang ke kampung halamannya di Maninjau, Sumatera Barat, melainkan ke Bali tempat di mana Awka saat itu bekerja. Dari sinilah prahara itu dimulai. Vera ingin kembali memeluk agama asalnya, Kristen.
Awalnya Awka tak mau karena latar belakang keislamannya yang sangat kuat. Namun, akhirnya ia luluh demi keutuhan rumah tangga dan ketiga buah hati mereka.
Tahun 1981, Awka sekeluarga pindah ke Jakarta, dan tiga tahun berselang, ia dibaptis oleh Pendeta Gerard Pinkston di Kebayoran Baru. Di tahun yang sama, 1983, Awka kembali ke Amerika Serikat.
Tak lama kemudian, ia menjadi pendeta oleh Gereja Pekabaran Injil Indonesia (GPII) di California. Sejak saat itu, Awkaterkenal dengan nama Pendeta Willy Amrull.
Tasawuf ala Modernis Hamka
Dalam Buya Hamka: Politikus tanpa Dendam, Modernis yang Serius Bertasawuf tertulis, Hamka adalah seorang modernis tulen. Ayahnya, Abdul Karim Amrullah, termasuk pembaharu agama di Minangkabau.
Jalan juang Hamka diretas di Muhammadiyah dan Masyumi, dua lembaga yang merepresentasikan semangat modernisme Islam.
Sebagaimana para modernis lain, Hamka melihat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang netral (bebas nilai). Karena itu perkembangan ilmu pengetahuan (termasuk dari dunia Barat) dapat bersesuaian dengan ajaran Islam.
Pandangan Hamka ini terlihat di antaranya dalam buku Pelajaran Agama Islam. Di dalam buku tersebut Hamka menggunakan banyak teori dan hasil penemuan para pemikir Barat untuk mengukuhkan keyakinan kepada Rukun Iman.
Teori-teori psikologi, sosial, hingga penemuan sains digunakan Hamka sebagai penambah argumen bagi keimanan. Hamka berusaha menampilkan Islam yang siap berdialog dan terbuka terhadap penemuan-penemuan ilmu pengetahuan terbaru—satu ciri umum kalangan modernis.
Tapi, menyangkut spiritualitas, ada yang berbeda pada diri pengarang Tenggelamnya Kapal Van der Wijk ini. Hal tersebut di antaranya dapat ditelusuri dari bukunya yang ditulis pada 1939, Tasawuf Modern.
Buku ini lah yang Hamka baca semasa berada dalam tahanan Orde Lama. Dalam pengakuannya ia menyatakan, “Hamka sedang memberi nasihat kepada dirinya sendiri… Dia hendak mencari ketenangan jiwa dengan membaca buku ini.”
(Dist)