BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Kasus tambang nikel di Raja Ampat terus mendapat perhatian dari Masyarakat. Kini, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) turut merespon kasus Raja Ampat, menekankan industri tambang untuk menerapkan standar pertambangan yang bertanggung jawab atau responsible mining.
“Industri pertambangan di Indonesia agar secara serius menerapkan standar pertambangan yang bertanggung jawab dan menghormati batas daya dukung lingkungan,” kata Sekretaris Umum PGI Pdt Darwin Darmawan dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (12/6/2025).
Selain responsible mining, PGI menegaskan industri tambang untuk menerapkan sejumlah prisnip, salah satunya adalah Free, Prior and Informed Consent (FPIC),
Dengan begitu, kemitraan yang berkeadilan dengan komunitas lokal dan masyarakat adat menjadi norma yang dijunjung dalam relasi industri dengan masyarakat.
Darwin menyampaikan bahwa dalam aktivitas pertambangan, para pelaku industri pertambangan seharusnya mengedepankan efisiensi sumber daya, meminimalisir terjadinya degradasi lingkungan, dan dengan sepenuh hati melakukan konservasi keanekaragaman hayati.
Baca Juga:
Greenpeace Tuntut Pemerintah untuk Melindungi Ekosistem Raja Ampat dari Tambang Nikel
Gubernur Papua Barat Daya Siap Jaga Raja Ampat Sampai ‘Kiamat’
PGI juga mendesak industri pertambangan di Indonesia tidak hanya berorientasi pada keuntungan finansial jangka pendek.
Namun lebih mengedepankan pada tanggung jawab sosio-ekologis jangka panjang, dimana keadilan dari generasi ke generasi dapat terwujud.
“Untuk itu, pelaku industri ekstraktif juga harus memastikan upaya-upaya reklamasi dan restorasi ekologis berjalan bersamaan dengan aktivitas ekstraktif sebagai wujud kearifan industrial, bukan sebagai beban pascatambang,” ucap Darwin.
Melalui kasus tambang nikel di Raja Ampat ini, Darwin mengingatkan pemerintah pusat dan daerah untuk lebih berhati-hati dan selektif dalam menerbitkan atau memberi rekomendasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) maupun Kawasan Peruntukan Industri (KPI).
Terutama di wilayah dengan status konservasi tinggi, wilayah adat, daerah tangkapan air, serta daerah sekitar pemukiman.
Lebih luas, PGI juga mendesak dihentikannya moratorium penerbitan IUP dan KPI di kawasan-kawasan yang terdapat kerawanan ekologis, misalnya hutan tropis, kawasan danau dan pesisir, juga pulau- pulau kecil.
Meskipun begitu, PGI tetap mendukung program hilirisasi yang sedang dilakukan pemerintah. Namun setiap aktivitas industri ekstraktif dalam kerangka hilirisasi diharapkan dapat mengedepankan prinsip keadilan ekologis.
Selain itu PGI juga menekankan sejumlah hal termasuk transparansi dalam proses perizinan, pelestarian keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati, serta pelibatan masyarakat terdampak secara aktif sebagai mitra dalam memelihara kelestarian alam, kehidupan, dan mata pencaharian.
(Raidi/Aak)