Site icon Teropong Media

Pernyataan Pemerkosaan Massal 1998 Dikritik, Fadli Zon Klarifikasi

pemerkosaan massal 1998

(ist)

BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait pemerkosaan massal 1998 menuai kritik luas hingga didesak minta maaf. Fadli Zon menjawab kritik tersebut.

Kritik hingga kekecewaan terhadap Fadli Zon disampaikan sederet aktivis. Pernyataan Fadli Zon dalam sebuah wawancara itu dinilai keliru. Dalam klarifikasinya, Fadli Zon mengapresiasi publik yang semakin peduli pada sejarah, termasuk era transisi reformasi pada Mei 1998.

Fadli Zon mengatakan peristiwa huru hara pada 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif, termasuk ada atau tidak adanya perkosaan massal.

Bahkan, liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal ‘massal’ ini.

Demikian pula, laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku.

Di sinilah, dia menyebut perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.

“Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998,” kata Fadli dalam keterangannya, Senin (16/6/2025).

“Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” sambungnya.

Fadli menjelaskan pernyataanya dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah ‘perkosaan massal’, yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.

Menurutnya, pernyataan itu bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” ucapnya.

Dia mengatakan istilah ‘massal’ juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade. Sehingga, sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik.

“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” ujarnya.

Merespons kekhawatiran terkait penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia, Fadli menyampaikan bahwa tuduhan tersebut tidak benar.

Justru sebaliknya, salah satu semangat utama penulisan buku ini adalah memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa.

Fadli menyebut dalam perkembangan penulisan hingga Mei 2025, pembahasan mengenai gerakan, kontribusi, peran, dan isu-isu perempuan telah diakomodasi secara substansial dalam struktur narasi sejarah.

Tema-tema yang dibahas mencakup antara lain: kemunculan organisasi-organisasi perempuan pada masa kebangkitan nasional, termasuk Kongres Perempuan 1928 serta peran organisasi perempuan sebagai ormas; kontribusi perempuan dalam perjuangan diplomasi dan militer; dinamika perempuan dari masa ke masa; penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, hingga pemberdayaan dan kesetaraan gender dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Baca Juga:

Sebut Pemerkosaan Massal 1998 Hanya Rumor, Fadli Zon Dituntut Minta Maaf!

Fadli Zon: Tidak ada Eskalator di Candi Borobudur

Terakhir, Fadli mengajak masyarakat untuk terlibat dalam dialog secara sehat dan konstruktif sebagai bagian dari upaya bersama membangun narasi sejarah Indonesia yang berkeadaban, berkeadilan, reflektif, dan terus berkembang.

Dia juga menyatakan kesiapan untuk berdialog langsung dengan berbagai kelompok masyarakat untuk mendengarkan aspirasi dan masukan.

“Prinsip keterbukaan, partisipasi publik, profesionalisme dan akuntabilitas tentu tetap menjadi dasar penyusunan sejarah. Kami akan melakukan diskusi publik yang terbuka untuk menerima masukan dari berbagai kalangan, termasuk para tokoh dan komunitas perempuan, akademisi, dan masyarakat sipil,” ujar Fadli.

“Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang tanggung jawab kita di masa kini dan masa depan. Karena itu, mari kita menjadikannya ruang bersama untuk membangun pembelajaran, empati, dan kekuatan pemersatu,” imbuhnya.

(Anisa Kholifatul Jannah)

Exit mobile version