BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Di era media sosial yang serba cepat dan visual, perhatian generasi muda terhadap berita perlahan menipis. Scroll video singkat lebih menarik daripada membaca judul panjang. Apakah ini tanda krisis literasi informasi, atau hanya perubahan cara konsumsi berita?
Pergeseran Perilaku: Ketika Berita Datang Sendiri
Sebagai mahasiswa, saya menyadari bahwa saya dan teman-teman lebih sering mendapatkan informasi dari TikTok atau Instagram. Media sosial membuat berita datang sendiri ke layar kami, tanpa harus kami cari. Dari berita nasional hingga gosip artis, semua tersaji dalam format visual yang ringkas dan cepat dicerna.
Namun kemudahan ini menyimpan risiko. Saya pribadi pernah termakan hoaks—berita tentang artis yang ternyata tidak benar. Beberapa teman saya bahkan sempat percaya pada informasi keliru soal kebijakan publik karena video potongan yang tidak lengkap. Ini menjadi bukti bahwa informasi yang datang tanpa kita cari seringkali juga datang tanpa konteks yang jelas.
Media Sosial Bukan Musuh, Tapi Tantangan Baru
Pola konsumsi berita yang bergeser bukan sepenuhnya hal buruk. Namun ini menantang jurnalisme untuk beradaptasi. Ketika anak muda lebih banyak berada di TikTok daripada situs berita, maka media juga perlu hadir di sana—tanpa kehilangan integritasnya.
Beberapa media telah mencoba menjangkau generasi muda lewat infografik, konten video pendek, atau kerja sama dengan content creator yang kredibel. Ini langkah awal yang patut didorong agar media tidak ditinggalkan, melainkan berkembang bersama perubahan zaman.
Literasi Kritis adalah Kebutuhan Mendesak
Literasi media kini lebih dari sekadar kemampuan membaca berita. Ini soal membangun daya kritis—membedakan fakta dan opini, menguji sumber, serta menyikapi informasi dengan tanggung jawab. Sayangnya, hal ini belum menjadi kebiasaan yang melekat dalam kehidupan digital mahasiswa.
Kampus memiliki peran besar dalam hal ini. Kurikulum, seminar, dan pelatihan jurnalistik bisa mendorong mahasiswa untuk tidak hanya menjadi konsumen informasi, tapi juga produsen konten yang etis dan akurat.
Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak generasi saya untuk tidak kehilangan kepekaan terhadap informasi yang bermutu. Kita boleh menikmati konten yang cepat dan menghibur, tapi jangan sampai kehilangan kemampuan berpikir kritis. Di tengah banjir informasi yang tak terbendung, suara mahasiswa yang jernih dan jujur justru paling dibutuhkan agar publik tidak tersesat dalam kabut informasi.
(Aditya Ferdiawan)