SAMOSIR, TEROPONGMEDIA.ID — Dulu ditarikan dengan khidmat sebagai simbol keberanian dan kehormatan, kini Martumba lebih sering tampil sekadar sebagai hiburan atau atraksi wisata. Namun siapa sangka di balik gerakan mengayun tombak dan hentakan kaki itu, tersimpan jejak panjang sejarah orang Batak Toba yang nyaris terlupakan.
Martumba bukan sekadar tari. Ia dulunya bagian dari sistem sosial-militer Batak. Dalam penelitian Manurung (2023) yang mendalami dinamika pertunjukan Martumba di Pangururan, Samosir dari 1960 hingga 2023, dijelaskan bahwa Martumba berakar dari tradisi horja atau pesta adat yang melibatkan upacara militer, simbol kejayaan, dan penyambutan tamu agung. Gerakannya merepresentasikan semangat perang, namun juga disisipkan unsur magis dan penghormatan kepada leluhur.
Namun, sejak era 1980-an, makna sakral Martumba mulai bergeser. Seiring modernisasi dan perubahan orientasi budaya masyarakat Batak Toba, Martumba mulai diadaptasi sebagai bagian dari pertunjukan seni budaya dalam event pariwisata dan pesta rakyat. Bahkan, antara 2013 hingga 2023, menurut Manurung, tarian ini lebih banyak ditampilkan untuk kebutuhan kontemporer seperti festival atau lomba antar-sekolah.
Fakta menariknya, dulu Martumba hanya bisa dibawakan oleh laki-laki dewasa yang telah menjalani proses adat tertentu. Sekarang, tarian ini kerap dibawakan oleh anak-anak atau remaja, bahkan perempuan, sebuah transformasi yang mencerminkan inklusivitas budaya baru, sekaligus menandakan pergeseran identitas dari yang sakral menjadi representasi budaya populer.
Ironisnya, semakin banyak yang mengenal Martumba, semakin sedikit yang tahu artinya. Banyak generasi muda hanya menghafal gerakan, tanpa paham narasi di baliknya. Dalam konteks inilah, Martumba menghadapi dilema: antara bertahan sebagai warisan adat, atau menjadi sekadar pertunjukan panggung.
BACA JUGA
Apa Itu Tarian Pacu Jalur? Ini Asal Usul dan Makna Filosofinya
Tarian Tarawangsa yang Mistis, Senantiasa Iringi Ritual Ngalaksa di Rancakalong Sumedang
Namun, tidak semua pihak tinggal diam. Beberapa sanggar seni di Samosir mulai menggagas pelatihan Martumba berbasis sejarah dan narasi adat. Gerakan ini menjadi bentuk perlawanan kultural agar Martumba tidak tercerabut dari akarnya.
Sejarah Martumba mengingatkan bahwa di balik setiap tarian, ada cerita panjang tentang siapa kita dan bagaimana leluhur menjaga martabatnya. Pertanyaannya sekarang: akankah kita tetap menari, atau hanya menonton hingga warisan itu pelan-pelan menghilang?
Sumber: UNIMED; Universitas Sumatera Utara
(Daniel Oktorio Saragih/Magang/Aak)