KUNINGAN,TM.ID: Beberapa menit berselang awan mendung diatas langit Kabupaten Kuningan telah menurunkan hujan, mengguyur semua bangunan di bawah Atap Bumi Parahyangan. Aroma petrikor tercium kuat, menambah udara sejuk menyentuh kulit.
Cahaya temaram baskara tak mampu menyapu kemelut halimun di Gunung Ciremai. Sebagian burung di area meracau terjadi sebuah reaksi presipitasi cair. Mereka singgah dari satu pohon ke pohon lain.
Gedung Linggarjati yang sudah renta, masih mampu berdiri kokoh meski usianya sudah tua. Tanah yang dipijak merekam setiap fase perubahan yang terjadi dari zaman ke zaman.
BACA JUGA: Kulineran Bersama Keluarga di Arunika Eatery Kuningan, Cocok Buat Weekend
Di dalamnya bersemayam sebuah cerita abadi, yang ditinggalkan oleh anak bangsa dengan pemikir jenius. Sejarah tercipta dari asas kepedulian terhadap bangsa dan negara. Perang gagasan terjadi ketika itu demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih.
Mereka berunding, dibalik tembok nan gagah dalam sebuah judul Perundingan Linggarjati.
Ada kisah yang menarik dibalik catatan perundingan antara Belanda dan Indonesia. Sosok penting yang menginisiasi pertemuan dan alasan, kenapa agenda itu berlangsung di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Gedung Linggarjati adalah salah satu bangunan Cagar Budaya Nasional, yang diselimuti cerita sejarah penting bagi Indonesia.
Pertemuan sejarah itu terjadi pada 11-15 November 1946. Berkaitan erat dengan status kemerdekaan Indonesia.
Pasca Soekarno membacakan teks proklamasi di tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah republik ketika itu harus melewati jalan terjal demi mendapatkan status kemerdekaannya.
Kemudian perundingan bersama pihak Belanda dilakukan. Hanya saja hingga tahun 1946, kesepakatan diantara kedua negara itu belum tercapai dan tidak mencapai titik temu.
Perlu diektahui kalau Gedung Linggarjati terletak di Desa Linggajati, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan.
Tempat itu dipilih menjadi lokasi perindungan kala itu, karena dinilai paling netral. Kota Batavia atau Jakarta kala itu masih berada dalam kekuasaan Belanda. Sementara Soekarno dan Hatta menawarkan pertemuan diadakan di Yogyakarta, ketika itu masih menjadi Ibukota sementara Republik Indonesia (RI).
Juru Pelihara (Jupel) Gedung Perundingan Linggarjati, Agus Suparman menjelaskan usulan pertemuan dari kedua negara harus di Linggarjati berawal atas gagasan yang muncul dari seorang wanita yang kala itu menjadi Menteri Sosial pertama Indonesia.
Ya, namanya adalah Maria Ulfah Santoso, putri dari mantan Bupati Kuningan, R Mohamad Ahmad yang pernah menjabat di periode 1921-1940.
“Yogyakarta dengan Jakarta jaraknya saat itu terlalu jauh. Jadi mengambil rujukan dari Ibu Maria Ulfah supaya bisa megadakan pertemuan di Linggarjati,” ungkap Agus kepada teropingmedia.id, Selasa (12/12/2023).
Awalnya tahun 1946, Gedung Linggarjati difungsikan sebagai lokasi hotel atau penginapan. Saat itu gedungnya bernama Hotel Merdeka. Hotel ini menjadi satu-satunya yang berdiri di Kabupaten Kuningan.
Agus menerangkan, perundingan Linggarjati diwakili Perdana Menteri, Sutan Sjahrir. Dia menjadi ketua delegasi Indonesia. Sementarta untuk pihak dari Belanda diketuai Prof. Dr. Ir. W. Schermerhorn.
“Perundingan dimediasi Lord Killearn dari negara Inggris dan dari hasil perundingan itu ada 17 pasal,” jelasnya.
Pokok utama hasil perundingan di Linggarjati dijelaskan Agus, jika Belanda mengakui secara de facto wilayah Indonesia hanya terdiri dari pulau Sumatera, Jawa dan Madura. Serta dibentuknya Republik Indonesia Serikat.
BACA JUGA: Lebih Dekat dengan Sejarah Kampung Adat Cireundeu
Perlu diektahii kalau Maria Ulfah Santoso adalah tokoh penting dibalik peristiwa perundingan di Linggarjati. Karena sosoknya dianggap memberikan kontribusi ketika menyampaikan opsi kepada Sutan Sjahrir supaya pertemuan itu dilakukan di wilayah Kuningan.
“Ketika ada pemilihan tempat perundingan yang dianggap netral, maka dipilihlah Linggarjati sebagai lokasi pertemuan karena sudah dijamin keamanannya,” jelas Agus.
Namun sayang tokoh Maria jarang diketahui oleh public luas. Apalagi sebagai mantan Menteri Sosial di zaman Orde Lama, dirinya turut andil dan memberikan peran dalam meletakkan dasar pondasi di Kabinet Sjahrir.
“Pada saat itu Sjahrir adalah kawan dekat dari Maria,” begitu katanya.