BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Apple kembali menjadi sorotan, bukan karena peluncuran produk inovatif seperti iPhone atau Mac terbaru, melainkan karena keputusan bisnis yang dinilai kontroversial oleh pemerintah Amerika Serikat.
Raksasa teknologi asal Cupertino itu diketahui menjalin kemitraan dengan Alibaba, perusahaan teknologi asal China untuk mengembangkan teknologi kecerdasan buatan (AI) khusus untuk pasar Tiongkok.
Langkah ini menciptakan kekhawatiran di kalangan pejabat Washington, terutama karena berkaitan dengan isu sensitif, data pengguna.
Kolaborasi ini dinilai berpotensi membuka jalan bagi pemerintah China untuk memperoleh akses terhadap informasi pengguna perangkat Apple, meskipun belum ada bukti langsung mengenai hal tersebut.
Menurut laporan The New York Times, sejumlah pejabat AS telah meminta klarifikasi dari petinggi Apple terkait jenis data yang mungkin dibagikan dalam kerja sama dengan Alibaba.
Namun, hingga kini Apple belum memberikan pernyataan resmi yang meyakinkan. Ketertutupan Apple ini justru memicu reaksi keras dari anggota parlemen AS.
Anggota DPR AS, Raja Krishnamoorthi bahkan menyebut kemitraan ini “mengganggu” dan mempertanyakan alasan Apple menggandeng Alibaba yang dinilai dekat dengan pemerintah China.
Menariknya, informasi mengenai kemitraan ini justru pertama kali diumumkan secara terbuka oleh pihak Alibaba. Dalam sebuah konferensi di Dubai, Chairman Alibaba Joe Tsai menyatakan bahwa perusahaan mereka adalah salah satu mitra yang terlibat dalam pengembangan AI untuk iPhone di China.
Langkah Apple ini dipandang sebagai upaya untuk mempertahankan posisi di pasar China, yang kini mulai menjauh dari produk-produk Amerika.
Baca Juga:
Saran Apple agar Baterai iPhone Awet
Persaingan dari merek lokal seperti Xiaomi, Huawei, Oppo, dan Vivo telah mendorong Apple ke posisi kelima dalam pangsa pasar smartphone di China pada kuartal pertama 2025. Penjualan iPhone bahkan dilaporkan turun lebih dari 11 persen di awal tahun.
Selain persaingan bisnis, Apple juga menghadapi tantangan dari sentimen nasionalisme di kalangan konsumen China.
Produk Amerika dianggap kurang merepresentasikan semangat nasional, terlebih di tengah tensi geopolitik yang belum sepenuhnya mereda antara Beijing dan Washington.
Sementara itu, peluncuran fitur Apple Intelligence yang digadang-gadang menjadi senjata utama Apple dalam mempertahankan konsumen setianya, ternyata belum mampu memenuhi ekspektasi.
Survei menunjukkan bahwa mayoritas pengguna merasa fitur AI tersebut tidak memberikan peningkatan signifikan dibanding pendahulunya.
Kini, Apple berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, mereka dituntut untuk tetap kompetitif di pasar global, termasuk China.
Namun di sisi lain, langkah strategis mereka berisiko menimbulkan gesekan politik dengan pemerintah negara asal mereka sendiri.
Manuver ini menjadi cermin dari tantangan yang dihadapi perusahaan teknologi global di era modern: bagaimana mengelola kepentingan bisnis, inovasi teknologi, dan tekanan geopolitik secara bersamaan.
Apple mungkin tengah memainkan permainan yang lebih besar dari sekadar menjual perangkat, mereka kini harus menavigasi medan diplomasi internasional yang semakin kompleks.
(Budis)