BANDUNG,TM.ID: Masyarakat Jawa mengenal tradisi Nyekar atau Nadran, yang merupakan bagian dari tradisi munggahan menjelang puasa Ramadhan. Lalu, apa makna dari tradisi nyekar? simak ulasannya dalam artikel ini.
Tata Twin Prehatinia dan Widiati Isana dari Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung telah melakukan penelitian terkait Tradisi Munggahan, di mana ziarah kubur yang kerap disebut nyekar atau nadran merupakan bagian dari prosesi tradisi munggahan ini dalam menyambut bulan suci Ramadhan.
Tata Twin dan Widiati menjelaskan, nyekar sebagai ritual yang sering dilakukan masyarakat dalam tradisi munggahan biasanya digunakan untuk mengirim doa kepada leluhur yang sudah meninggal dunia menjelang bulan Ramadhan.
Nyekar dimaksudkan untuk bersyukur telah datangnya bulan yang mulia, yakni bulan Ramadhan.
Berdasarkan studi lapangan yang dilakukan di wilayah Kota Bandung, Jawa Barat, proses tradisi Munggahan ini biasanya dilakukan pada saat nisfu sya’ban.
Proses tersebut biasanya ditandai dengan melakukan ziarah ke makam, yang sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia pada umumnya.
BACA JUGA: 6 Tradisi Munggahan Jelang Puasa Ramadhan yang Mulai Pudar
Ziarah ke makam atau ziarah kubur ini biasanya dilakukan ke makam-makam para wali, ulama atau ke kerabat keluarga terdekat.
Salah satu tujuan dari kegiatan ziarah makam, nadran, atau nyekar ini adalah untuk meminta doa kepada Tuhan, meminta kebaikan bagi orang yang didoakan di alam kubur.
“Masyarakat percaya bahwa dengan berziarah dan meminta doa di depan makam leluhurnya maka doa tersebut akan dikabulkan melalui orang yang berada dalam makam tersebut karena mereka termasuk kedalam golongan orang-orang yang sholeh dan beriman baik,” tulis Tata Twin dan Widiati.
Tradisi ziarah makam yang biasanya dilakukan oleh masyarakat adalah dengan membawa kembang yang disebut dengan kembang setaman dan membawa air didalam kendi atau bisa menggunakan air dalam botol.
Peziarah biasanya membawa kendi berisi air dan kembang warna-warni yang biasa disebut kembang setaman. Kembang setaman ditafsirkan dengan nama setaman karena banyaknya bunga yang digunkaan untuk tradisi ziarah ke makam. Setaman berarti banyaknya bunga-bunga yang terdapat di taman.
Menaburkan bunga dan air dalam kendi diyakini bahwa kembang-kembang tersebut akan bertasbih kepad Allah dan tasbihnya dapat meringankan mayat yang ada didalam kubur tempat berziarah.
Sementara itu, Hairus Salim HS, dalam artikelnya yang dilansir laman resmi organisasi Islam Nahdlatul Ulama, menjelaskan pula soal tradisi nyekar di kalangan masyarakat Muslim Jawa.
Menurutnya, berbeda dengan tradisi ziarah yang ditujukan kepada tokoh-tokoh ulama atau wali yang dianggap keramat, sebagai penghormatan dan upaya mengambil berkah, dalam nyekar umumnya dilakukan di makam leluhur keluarga seperti kakek-nenek, orang tua, atau saudara.
“Nyekar berasal dari kata Jawa sekar yang berarti kembang atau bunga,” terang Hairus Salim.
Dalam praktiknya, memang ziarah ini melibatkan penaburan bunga di atas makam yang dikunjungi. Bahkan sebagian masyarakat ada yang menyertakan dupa dan kemenyan.
Namun, aspek ritual yang terakhir ini, belakangan ini sudah jarang dilakukan, meski tidak berarti hilang sama sekali.
Di dalam nyakar, yang pasti dan umum terjadi, adalah besik atau pembersihan makam dan pembacaan himpunan doa atau bagian dari surat Al Quran, yang pendek panjangnya, bervariasi satu sama lain.
Hal ini membuat waktu yang dibutuhkan dalam nyekar berbeda-beda: dari yang singkat sekitar belasan menit, hingga hitungan jam, bahkan ada yang seharian penuh.
“Jika mereka yang nyekar ini tidak ada yang bisa membaca doa sendiri, di pemakaman umum biasanya ada juru kunci atau guru agama yang bisa membantu memimpin dan memandu pembacaan ini,” katanya.
(Aak)