BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Kampung adat Cireundeu yang menyimpan sejarah panjang dan kearifan lokal kesenian buhun yang kuat.
Kampung adat Cireundeu ini terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Nama “Cireundeu” sendiri berasal dari “pohon reundeu”, tanaman obat herbal yang dahulu melimpah di wilayah ini.
Kampung dengan luas 64 hektar ini, yang terdiri dari 60 hektar lahan pertanian dan 4 hektar pemukiman, dihuni oleh sekitar 1.200 jiwa, sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani ketela.
Masyarakat Kampung Cireundeu, yang mayoritas memeluk kepercayaan Sunda Wiwitan, teguh memegang tradisi dan adat istiadat leluhur.
Mereka konsisten menjalankan ajaran kepercayaan mereka dan menjaga kelestarian budaya yang telah secara turun-temurun.
Salah satu tradisi yang masih dijalankan adalah pertunjukan wayang golek setiap bulan Sura, sebagai bentuk syukur kepada Sang Maha Pencipta atas segala nikmat yang diterima.
Kehidupan sosial masyarakat Kampung Cireundeu terbuka dengan masyarakat luar, namun mereka cenderung menghindari perantauan dan menjaga kedekatan dengan keluarga.
Pola pemukiman di kampung ini unik, dengan pintu samping yang menghadap ke timur, mencerminkan filosofi penerimaan cahaya matahari bagi kehidupan. Semangat gotong royong menjadi ciri khas kehidupan masyarakat di sini.
Masyarakat Kampung Cireundeu juga memiliki kesenian tradisional seperti gondang, karinding, dan angklung buncis yang biasa tampil dalam ritual upacara adat, seperti upacara satu sura atau menyambut tamu.
Mereka merupakan bagian dari komunitas Sunda Wiwitan yang tersebar di berbagai daerah seperti Cigugur-Kuningan-Cirebon (Agama Djawa-Sunda/ADS), Sunda Wiwitan Suku Baduy di Kanekes (Lebak, Banten), Kasepuhan di Cipta gelar (Banten Kidul, Sukabumi), Cisolok-Sukabumi, dan Kampung Naga-Tasikmalaya.
BACA JUGA : Kampung Adat Cireundeu Kepercayaan Sunda Wiwitan
Kampung Cireundeu menjadi contoh nyata bagaimana tradisi dan kearifan lokal dapat tetap lestari di tengah modernitas.
Mereka tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga membuka diri untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak. Menunjukkan bahwa tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan.
(Hafidah Rismayanti/Aak)