JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Polemik mutasi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo dari jabatan Pangkogabwilhan I menjadi Staf Khusus KSAD menyulut kontroversi di tengah masa transisi kekuasaan. Keputusan mutasi yang disebut-sebut berasal dari lingkaran mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu akhirnya dibatalkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Langkah Prabowo membatalkan mutasi Letjen Kunto dianggap sebagai sinyal tegas bahwa dirinya tak akan membiarkan institusi militer dipolitisasi.
Letjen Kunto sendiri bukan sosok sembarangan, Ia adalah putra mantan Wakil Presiden Jenderal (Purn) Try Sutrisno yang dikenal sebagai salah satu tokoh militer kritis terhadap posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden.
Politikus senior PDIP, Beathor Suryadi menyebut, mutasi Kunto sebagai bentuk “kudeta senyap” yang dilakukan oleh Jokowi untuk mengamankan posisi Gibran.
“Ini bukan mutasi biasa, ini bentuk intervensi politik terhadap TNI. Panglima TNI sekarang bagian dari Geng Solo,” kata Beathor melansir Radar Aktual, Minggu (4/5/2025).
Beathor menilai, keterlibatan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dalam proses mutasi menunjukkan masih kuatnya pengaruh Jokowi di tubuh militer, meskipun masa jabatannya sebagai presiden telah usai. Ia menyebut, ada semacam “struktur bayangan” yang masih bekerja mengamankan kepentingan Jokowi.
Prabowo sendiri setelah menerima informasi tentang mutasi itu, disebut langsung mengambil tindakan cepat dengan membatalkannya. Letjen Kunto pun tetap menjabat sebagai Pangkogabwilhan I. Tindakan ini dipandang sebagai bentuk konsolidasi kendali Presiden Prabowo atas TNI.
“Presiden menunjukkan bahwa TNI tidak boleh lagi menjadi alat kekuasaan masa lalu. Ini bukan sekadar soal jabatan Letjen Kunto, tapi simbol dari upaya pemulihan supremasi sipil dan profesionalisme militer,” ujar Beathor, yang juga dikenal sebagai mantan tahanan politik era Orde Baru.
Baca Juga:
Penyebab Letjen Kunto Batal Mutasi hingga Rekam Jejak dari Awal Karir
Dibantah Soal Letjen Kunto Batal Mutasi, Pengamat: Publik Sulit Percaya!
Isu loyalitas dalam tubuh TNI kembali mencuat. Beberapa pengamat menilai, selama dua periode pemerintahan Jokowi, struktur kepemimpinan militer dibangun atas dasar kedekatan politik, bukan profesionalisme. Ketika Prabowo kini menjabat sebagai Panglima Tertinggi TNI, ia dituntut untuk merapikan kembali struktur tersebut.
“Kalau mutasi bisa terjadi tanpa sepengetahuan Presiden, itu pertanda ada jalur komando alternatif. Ini membahayakan demokrasi dan stabilitas sipil-militer kita,” tegas Beathor.
Lebih jauh, Beathor bahkan menyebut manuver politik Jokowi sebagai bentuk kudeta gaya baru. Bukan melalui kekuatan senjata, tapi dengan mempertahankan kendali atas loyalitas pejabat tinggi, termasuk di tubuh militer.
“Jokowi sudah bukan presiden, tapi masih mengatur siapa duduk di mana. Itu bentuk kudeta senyap,” katanya.
Isu ini tak bisa dilepaskan dari posisi Gibran sebagai wakil presiden, yang sejak awal dianggap problematik secara konstitusional. Try Sutrisno sendiri pernah menyatakan bahwa Gibran seharusnya dimakzulkan. Maka, pengamanan posisi Gibran lewat penempatan tokoh-tokoh loyalis di lembaga strategis dinilai sebagai langkah politik terukur.
Polemik Letjen Kunto menjadi cerminan dinamika kekuasaan pasca-pemilu 2024. Prabowo tidak hanya harus menjalankan pemerintahan, tapi juga menghadapi bayang-bayang pengaruh presiden sebelumnya. Konsolidasi di tubuh militer kini menjadi ujian pertama bagi Presiden Prabowo untuk menegaskan kedaulatan penuh atas alat pertahanan negara.
(Dist)