BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Langkah ekstrem tengah disiapkan oleh pemerintah Inggris demi melawan perubahan iklim yang makin tak terkendali. Tak tanggung-tanggung, Inggris bakal mengucurkan dana hingga £50 juta (sekitar Rp1 triliun) untuk mendanai eksperimen redupkan sinar Matahari yang sampai ke Bumi.
Proyek kontroversial ini rencananya akan diumumkan dalam beberapa minggu mendatang oleh Advanced Research and Invention Agency (ARIA).
“Salah satu bagian yang hilang dalam perdebatan ini adalah data fisik dari dunia nyata. Model hanya dapat memberi tahu kita sedikit,” ungkap Profesor Mark Symes, Direktur Program ARIA, seperti dilansir Great Britain News pada Sabtu (26/4/2025).
Eksperimen redupkan matahari ini akan dilakukan secara terkendali dalam skala kecil dan bersifat outdoor. Beberapa pendekatan yang dikaji termasuk penyuntikan aerosol ke atmosfer serta mencerahkan awan agar sinar Matahari dapat dipantulkan menjauh dari Bumi sebuah metode yang disebut sebagai solar radiation management atau SRM.
Profesor Jim Haywood dari University of Exeter juga memberikan insight menarik. Ia mencontohkan bagaimana emisi dari kapal di lautan bisa menciptakan garis terang di awan, serta efek letusan gunung berapi di Islandia pada 2014 yang menyebarkan sulfur dioksida ke atmosfer.
Para ilmuwan pendukung menyebut bahwa data nyata dari eksperimen ini sangat penting sebagai dasar ilmiah. Sebab, saat ini model simulasi saja dianggap belum cukup akurat untuk memperkirakan dampak teknologi geoengineering tersebut.
Namun, tidak semua pihak menyambut rencana ini dengan tangan terbuka. Kritik tajam bermunculan dari berbagai kalangan ilmuwan dan aktivis lingkungan. Mereka menilai pendekatan ini bisa menyebabkan efek samping berbahaya dan malah menjadi pengalih perhatian dari solusi utama: pengurangan emisi karbon.
Baca Juga:
Viral! Pengemudi Tantang Petugas Patwal Bunyikan Sirine: Takut Bunyiin?
Heboh Penemuan Ladang Ganja Lewat Drone di Dekat Gunung Bromo, TNBTS Beri Klarifikasi Resmi
Belum Ada Perjanjian Ineternasional
Beberapa peneliti bahkan menyebut teknologi ini sebagai “pengobatan kanker pakai aspirin” terlalu berisiko dan bisa berujung bencana.
Kekhawatiran utama lainnya adalah potensi perubahan pola hujan global yang bisa berdampak langsung pada ketahanan pangan dunia. Bayangkan saja, jika cuaca mendadak berubah akibat intervensi manusia, bukan tidak mungkin banyak negara penghasil pangan utama dunia justru menderita.
Meskipun demikian, di tengah lambannya penurunan kadar karbon dioksida dan naiknya suhu global, para ilmuwan mulai mempertimbangkan geoengineering sebagai opsi terakhir.
Hingga saat ini, belum ada perjanjian internasional yang secara tegas mengatur teknologi seperti ini. Para ahli bahkan mendesak diberlakukannya moratorium global sebelum eksperimen dilakukan secara luas.
Langkah Inggris ini bisa jadi awal dari diskusi serius dunia soal masa depan iklim. Apakah ini solusi jangka panjang, atau malah menciptakan masalah baru? Yang jelas, eksperimen ini akan menjadi sorotan utama dunia dalam waktu dekat.
(Hafidah Rismayanti)