BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sebagai penghormatan kepada Ki Hadjar Dewantara, tokoh besar pendidikan nasional. Namun, ada tokoh-tokoh lain yang juga berkontribusi besar dalam memajukan pendidikan, terutama di tingkat lokal. Salah satunya adalah Daeng Kanduruan Ardiwinata—nama yang jarang disebut, namun memiliki warisan luar biasa dalam dunia pendidikan Indonesia dan pelestarian budaya Sunda.
Lahir di Bandung pada tahun 1845, Daeng Kanduruan Ardiwinata tumbuh di tengah situasi sosial yang kerap menempatkan kaum pribumi sebagai warga kelas dua. Namun, ia berhasil memperoleh pendidikan formal dan kemudian meniti karier sebagai pegawai pemerintah kolonial.
Kendati berada di dalam sistem yang menindas bangsanya, Ardiwinata memilih untuk menjadi penggerak perubahan dari dalam, dengan menjadikan bahasa dan pendidikan sebagai alat perjuangan.
Ardiwinata dikenal sebagai pelopor literasi dalam bahasa Sunda. Di saat pendidikan kolonial lebih mengedepankan bahasa Belanda dan meminggirkan bahasa-bahasa daerah, ia justru gigih menulis dan menerbitkan buku-buku berbahasa Sunda. Baginya, pendidikan yang efektif haruslah berpijak pada bahasa ibu agar bisa menyentuh kesadaran masyarakat secara lebih mendalam.
Salah satu kontribusinya yang paling monumental adalah dokumentasi dan penulisan Wawacan Bujangga Manik, sebuah karya sastra klasik Sunda yang nyaris terlupakan. Melalui upaya ini, Ardiwinata tidak hanya menghidupkan kembali tradisi sastra lokal, tetapi juga menjadikannya sebagai media pembelajaran di sekolah-sekolah rakyat.
Ia juga menerjemahkan berbagai materi ajar ke dalam bahasa Sunda agar bisa diakses oleh siswa pribumi yang tidak menguasai bahasa Belanda.
Tak berhenti di sana, Ardiwinata menjadi salah satu anggota Commissie voor de Volkslectuur—cikal bakal Balai Pustaka yang berperan penting dalam penyediaan bacaan berbahasa daerah. Dalam lembaga ini, ia memperjuangkan agar cerita-cerita dan pengetahuan dalam bahasa Sunda tidak sekadar hiburan, tetapi juga menjadi media pendidikan yang bermakna.
Dalam konteks Hari Pendidikan Nasional, perjuangan Ardiwinata memperlihatkan bahwa pendidikan tidak hanya soal angka partisipasi sekolah atau kurikulum nasional. Ia menunjukkan bahwa pendidikan harus berakar pada identitas dan budaya masyarakat.
Dengan menulis dalam bahasa Sunda dan mengajarkannya di sekolah, Ardiwinata sebenarnya tengah membangun kesadaran kritis di kalangan masyarakat lokal, jauh sebelum semangat “merdeka belajar” digaungkan secara nasional seperti saat ini.
Baca Juga:
Teropong Media Dorong Literasi Jurnalistik Mahasiswa Lewat Suar Mahasiswa Awards di UNIBI
Ardiwinata juga aktif dalam membina sekolah-sekolah di wilayah Priangan, memperhatikan mutu pengajaran, serta mendampingi guru-guru dalam menyusun bahan ajar. Ia memahami bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga panggilan moral individu yang peduli terhadap masa depan bangsanya.
Daeng Kanduruan Ardiwinata wafat pada 1947, dua tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Meski kiprahnya besar, namanya jarang masuk dalam buku-buku pelajaran sejarah nasional. Namun warisan yang ia tinggalkan berupa ratusan tulisan, terjemahan, dan semangat pelestarian budaya yang masih terasa hingga kini, terutama di kalangan akademisi dan budayawan Sunda.
Memperingati Hari Pendidikan Nasional seharusnya juga menjadi momen refleksi: sudahkah kita mengenali semua pahlawan pendidikan dari berbagai penjuru Nusantara? Sudahkah kita memberikan ruang pada tokoh-tokoh lokal seperti Ardiwinata yang mengabdikan hidupnya untuk pendidikan dan kebudayaan bangsanya?
Daeng Kanduruan Ardiwinata adalah pengingat bahwa kemajuan pendidikan Indonesia tidak dibangun oleh satu sosok saja, tetapi oleh banyak tangan yang bekerja diam-diam, di balik sorotan, dengan semangat yang sama besarnya.
(Dist)