JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Prahara demi prahara terus menerpa PDIP. PDIP partai pemenang pemilu berurut-turut sejak 2014. Pada pemilu 2029, PDIP bisa saja menyusul PPP: terlempar dari senayan.
Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS) M Sholeh Basyari mengatakan,
prahara yang menerpa PDIP, tidak sekedar siklus kalah-menang dalam kontestasi pilleg maupun pilpres. Ada yang lebih mendasar dari siklus ini, yakni krisis kepemimpinan.
Bangkrutnya Ideologi Soekarnois
“Tidak hanya satu dekade sejak Jokowi memimpin Indonesia, ideologi bung Karno yang diusung PDIP, mendapat tempat mulia di jagad politik Indonesia. Bahkan jauh sejak Megawati mengubah PDI menjadi PDIP pasa akhir rezim orde baru, partai ini harapan utama mayoritas warga Indonesia,” kata Sholeh kepada Teropongmedia.id, Sabtu (28/12/2024).
Sholeh menjelaskan sejak itu hingga Megawati menjadi presiden dan dilanjutkan oleh Jokowi, sejumlah tema tentang sang proklamator mendominasi nomenklatur politik kita. Mulai dari: bulan Juni yang dilabeli bulan Bung Karno, patung Bung Karno di sejumlah kabupaten dan provinsi, pemisahan nama jalan protokol di sejumlah kota; jalan Soekarno Hatta menjadi jalan Soekarno (saja).
Bahkan kabarnya jenderal Dudung mendapat tiket bintang empat (jendral penuh) dan menduduki kursi kepala staf angkatan darat (KASAD), salah satu kuncinya adalah inisiatifnya membangun patung Bung Karno di akademi militer (Akmil) Magelang.
Tentu sekedar membangun patung, memisah dwitunggal Soekarno Hatta, atau pemilahan bulan bung Karno, tidak serta merta mengembangkan ideologi bung Karno.
“Sang Bung yang dikenal warga Indonesia adalah pemimpin besar, proklamator yang gagasan dan visi tentang Indonesia sangat kuat.
Bung Karno juga membangun nasionalisme secara berbarengan antara ide dan sekaligus praktek dalam bernegara,” jelasnya.
Sementara PDIP jauh dari praktek seperti itu. PDIP atau tepatnya politisinya, tak lepas dari praktek koruptif dalam sejumlah kiprahnya.
Menurut dia, bangkrutnya ideologi Soekarno setidaknya tampak dari sejumlah hal berikut. Pertama, PDIP atau Megawati, berpolitik secara “individu”. Padahal bung Karno nafas politiknya berorientasi solidarity maker. Bung Karno berkawan dan rajin silahturahmi dengan sejumlah tokoh dengan beragam latar belakang. Bung Karno dekat dengan kyai Wahab (tokoh NU). Sang Bung juga akrab dengan tokoh Muhamadiyah bahkan pemimpin Persatuan Islam (Persis); Ahmad Hasan dari Bangil. Dengan perkawanan lintas kekuatan itulah, Bung Karno mudah mematahkan perlawanan dari kaum militer maupun ideologi lain.
Sementara Megawati sepeninggal Gus Dur tidak ada yang “memandu” untuk berjejaring dengan kekuatan non-PDIP.
Tanpa ditopang oleh perkawanan lintas kekuatan dan keengganan bersilahturahmi, Megawati secara khusus, dan Partai Banteng secara umum, ringkih, tak punya tenaga untuk menanduk ataupun menyeruduk.
Kedua, bangkrutnya ideologi Bung Karno ala PDIP juga kuat disebabkan oleh, aristokrasi dan feodalisme yang tampilkan Megawati. Betapa dengan aristokrasinya, PDIP dengan “seenaknya” memanggil Jokowi yang kala itu masih sebagai presiden, serta didudukkan bak diadili di meja kecil di depan Megawati dan moment tersebut dibikin video oleh puan Maharani. Feodalisme juga nampak dari sebutan PDIP pada presiden Jokowi sebagai “petugas partai”.
Ketiga, gagalnya PDIP mengusung ideologi Soekarnois juga diakibatkan oleh gap generation, jarak serta interval yang lumayan panjang era bung Karno dengan generasi sekarang. Gap generation itu kian menganga setelah secara berurutan pak Harto, Habibie, Gus Dur, SBY dan Jokowi, waktu menjadi presiden, mengusung kepemimpinan yang unik serta didukung oleh para pengikut yang tidak kalah fanatik dengan bung Karno.
Publik seakan menyimpulkan; silahkan PDIP dan Megawati menikmati warisan bung Karno, kita pengikut presiden-presiden setelahnya, juga memiliki hak untuk mewarisi bagian-bagian dari republik ini.
Keempat, awal-awal Megawati melawan orde baru, iya tampil menawarkan kepemimpinan alternatif. Kepemimpinan tersebut disambut gegap gempita bahkan oleh jenderal Agum Gumelar yang kala itu adalah komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Kepemimpinan Megawati adalah antitesis rezim orde baru. Tragisnya, pasca memenangkan pertarungan yang heroik melawan pak Harto, Megawati sama sekali tidak mengubah gaya dan pola kepemimpinannya: aristokrat dan feodal, bahkan kian menjadi-jadi.
“Tanpa langkah radikal dari internal PDIP, partai banteng moncong putih ini, potensial terpuruk seperti PPP. Mitos tentang Megawati yang kharismatik, populis dan didukung wong cilik yang fanatik, pudar seiring prahara demi prahara,” ujarnya.
BACA JUGA: PDIP Pasang Badan, Siapkan Langkah Hukum untuk Hasto! Praperadilan?
Langkah penyelamatan radikal yang dimaksud adalah kemauan dan kemampuan politisi politisi PDIP untuk serius mengembangkan ideologi Soekarnois. Ideologi marhaen yang pro wong cilik. Ideologi yang seiya sekata antara ide,gagasan dan praktek tentang nasionalisme. Mengembangkan kembali solidarity maker dengan berjejaring melalui silahturahmi dan bertegur sapa dengan orang pengajian, seperti yang dilakukan bung Karno terhadap sejumlah tokoh Islam maupun tokoh dari ideologi lain.
“Bukan sebaliknya menyindir “kenapa sih ibu-ibu sekarang demen banget dengan pengajian”. wallahu A’lam” bebernya.
(Agus Irawan/Usk)