BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Candi Borobudur, merupakan salah satu monumen bersejarah dari agama Buddha Mahayana aliran Vajrayana/Tantrayana, yang didirikan oleh Dinasti Syailendra di kerajaan Mataram kuno, Jawa Tengah pada abad ke-8 M.
Cerita-cerita dari kitab Buddhis Mahayana seperti Karmavibhanga, Jatakamala, Lalitavistara, Avadana, dan Gandavyuha, dikisahkan pada relief yang menghiasi candi ini.
Secara arsitektur, Borobudur berbentuk stupa, sebuah monumen Buddhis yang berfungsi menyimpan relik atau objek peninggalan orang suci lainnya, dan juga merupakan visualisasi dari mandala, yang menggambarkan kosmologi tempat kediaman makhluk suci Mahayana sebagai alat meditasi.
Mandala di Borobudur adalah gabungan dari Garbhadhatu Mandala dan Vajradhatu Mandala yang terdapat dalam kitab Maha Vairocana Sutra.
Dengan demikian, Borobudur berfungsi sebagai monumen untuk mengingatkan kembali umat Buddha akan ajaran Buddha dan sebagai sarana visualisasi meditasi.
Penurunan dan Penemuan Kembali Candi Borobudur
Candi Borobudur perlahan ditinggalkan sebagai tempat ibadah setelah Empu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Mataram kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada abad ke-10, setelah serangkaian letusan Gunung Merapi.
Pada abad ke-14, Mpu Prapanca menyebut Borobudur secara samar dalam kitab Nagarakertagama, yang menyebutkan adanya “Wihara di Budur”.
Pada abad ke-15, penduduk sekitar beralih ke agama Islam, menyebabkan candi ini semakin dilupakan.
Pada abad ke-18, Babad Tanah Jawi dan Babad Mataram menyebut Borobudur sebagai tempat yang tabu dikunjungi karena dianggap membawa sial.
Setelah terkubur selama berabad-abad di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang ditumbuhi pohon dan semak belukar, Candi Borobudur ditemukan kembali pada masa pemerintahan kolonial Inggris di Indonesia (1811–1816) dan dipugar kecil-kecilan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Baru pada tahun 1973, pemerintah Indonesia dengan bantuan UNESCO melakukan pemugaran besar-besaran.
Perayaan Waisak di Candi Borobudur
Candi Borobudur telah difungsikan kembali sebagai tempat ibadah sejak masa kolonial Belanda.
Tradisi merayakan Hari Waisak di Candi Borobudur dimulai sejak tahun 1930 oleh Himpunan Teosofi Hindia Belanda yang memperkenalkan praktik dan pengetahuan tentang Buddhisme di Indonesia.
Perayaan ini diinisiasi oleh L. Mangelaar Meertens, seorang teosof, yang juga mengadakan perayaan Waisak di Candi Mendut pada tahun 1929.
Menurut laporan Oei Thiam An dalam majalah Sam Kauw Gwat Po (Juni 1938), perayaan Waisak 1938 di Borobudur dihadiri sekitar 150 orang dari berbagai daerah seperti Yogyakarta, Magelang, Temanggung, dan Grabag.
Suasana upacara berjalan khidmat dan tenang, dengan udara di sekitar candi dipenuhi wangi dupa dan bunga dari altar kecil.
Para peserta ritual membaca kitab Buddha bersama dan mengakhiri acara dengan ceramah oleh Mangoen Soekarso, seorang guru Taman Siswa.
Perayaan Waisak di Borobudur sempat terhenti pada 1940 ketika Jerman menginvasi Belanda, dan baru diadakan kembali beberapa tahun setelah Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, yang mempelajari Buddhisme selama kuliah di Belanda, menginisiasi peringatan Waisak nasional di Borobudur pada 22 Mei 1953.
Pesertanya berasal dari seluruh Indonesia dan perwakilan dari negara-negara seperti Singapura, Thailand, Burma, Sri Lanka, dan India.
Perayaan ini menandai kebangkitan kembali umat Buddha di Indonesia.
Selama pemugaran tahun 1973, perayaan Waisak nasional di Borobudur sempat dipindahkan ke Candi Mendut.
Setelah pemugaran selesai, Candi Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah bagi umat Buddha internasional hingga saat ini.
BACA JUGA: Wujud dari Mandala, Candi Borobudur Lekat dengan Perayaan Suci Waisak
Candi Borobudur tidak hanya merupakan peninggalan sejarah yang luar biasa, tetapi juga pusat spiritual bagi umat Buddha.
Hadirnya Candi Borobudur di Indonesia menjadi simbol dari ajaran agama Buddha. Tradisi perayaan Waisak yang berlangsu sejak zaman kolonial hingga sekarang, menjadikannya sebagai praktik meditasi mendalam umat Buddha.
(Vini/Budis)