Site icon Teropong Media

AI Bisa Baca Emosi dari Kamera Depan, Terobosan Medis atau Ancaman Privasi?

Memasang Kamera CCTV

Ilustrasi (pexels)

BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Bayangkan sebuah aplikasi yang bisa mengetahui perasaanmu hanya dari ekspresi wajah dan nada suaramu.

Tanpa perlu bertanya, tanpa harus kamu bercerita. Kedengarannya seperti fiksi ilmiah, tetapi di era kecerdasan buatan (AI) yang berkembang pesat ini, itu bukan lagi sekadar imajinasi.

Sebuah terobosan datang dari startup teknologi kesehatan asal Prancis, Emobot. Perusahaan ini mengembangkan sebuah aplikasi yang memungkinkan kamera depan ponsel untuk terus aktif, menganalisis ekspresi mikro wajah pengguna, dan memetakan emosi mereka secara real-time.

Hasilnya? AI bisa memberi tahu apakah kamu sedang senang, cemas, bosan, atau sedih semuanya hanya lewat mimik wajah dan nada suara.

“Kami ingin menciptakan alat seperti termometer emosi. Ini untuk membantu para psikiater memahami kondisi emosional pasien mereka, secara objektif dan terus-menerus,” ujar salah satu pendiri Emobot, Samuel Lerman.

Lebih dari Sekadar Gimmick: Ini Alat Medis Resmi

Tak seperti aplikasi hiburan yang sekadar menebak mood, Emobot memiliki status resmi sebagai perangkat medis dan telah digunakan oleh ratusan pasien di Prancis.

Tujuannya bukan cuma mengetahui perasaan sesaat, tetapi memantau perubahan emosi pasien secara jangka panjang.

Bagi dunia psikiatri, ini bisa jadi terobosan besar. Diagnosis gangguan mental seperti bipolar atau depresi sering memakan waktu bertahun-tahun.

Dengan data real-time dari ekspresi wajah dan nada suara, dokter bisa mendeteksi gejala sejak dini, mengukur efektivitas pengobatan, hingga memberi peringatan dini terhadap risiko bunuh diri atau kekambuhan.

Namun di balik manfaat besar ini, ada bayang-bayang pertanyaan: di mana batasnya?

Kamera Aktif 24/7, Apakah Kita Siap Diawasi?

Satu hal yang membuat Emobot menuai perhatian bukan cuma teknologinya, tapi juga pendekatannya. Kamera depan ponsel akan terus aktif di latar belakang untuk merekam ekspresi wajah pengguna. Dan ke depannya, mikrofon juga akan ikut digunakan untuk menganalisis nada suara.

“Kami sempat khawatir soal reaksi pengguna karena kamera menyala terus.Tapi sejauh ini, tanggapan cukup positif karena semua data diproses secara lokal dan tidak disimpan,” kata Lerman.

Tentu, Emobot menjanjikan bahwa semua pemrosesan dilakukan langsung di perangkat, tanpa mengirim data ke server atau cloud.

Tapi tetap saja, tidak semua orang nyaman dengan gagasan kamera dan mikrofon aktif 24 jam, apalagi dalam konteks privasi digital yang kian rapuh.

Baca Juga:

Samsung Galaxy AI, Tatap Masa Depan dengan Kecerdasan Buatan

Antara Alat Bantu atau Alat Pantau

Teknologi serupa sudah mulai diterapkan di sektor lain, seperti perkantoran, di mana AI digunakan untuk memantau ekspresi karyawan dan menilai produktivitas.

Di titik inilah garis antara alat bantu dan alat pantau menjadi kabur.

Pada Emobot, niatnya jelas untuk kesehatan mental. Tapi di tangan yang salah, teknologi semacam ini bisa menjadi alat kontrol sosial yang ekstrem.

Bayangkan jika sistem ini digunakan oleh perusahaan untuk menilai emosi pegawainya setiap hari, atau oleh pemerintah untuk mengawasi warganya.

Maka yang diperlukan bukan hanya inovasi, tapi juga regulasi.

Manusia Masih Tak Tergantikan

Walaupun AI bisa membaca ekspresi dan nada suara, satu hal tetap tak bisa dilakukan, merasakan. AI bisa menyebutmu tampak sedih, tapi ia tidak bisa memahami kesedihanmu. Ia bisa mengenali pola, tapi tidak punya empati. Dan inilah batas utama teknologi.

Emobot mungkin bisa menolong dokter memahami pasien lebih baik. Tapi hubungan manusia dengan empati, kasih, dan komunikasi tetap tak tergantikan oleh algoritma.

Teknologi Hebat, Tapi Jangan Lupa Kemanusiaan

Emobot adalah tonggak baru dalam dunia kesehatan mental, menawarkan potensi besar untuk diagnosis dan pemantauan emosional.

Tapi keberhasilannya tak hanya tergantung pada keakuratan teknis, melainkan juga pada transparansi, keamanan data, dan etika penggunaannya.

Karena pada akhirnya, teknologi hanyalah alat. Dan alat, betapapun canggihnya, tetap perlu dipegang oleh tangan yang bijak.

(Budis)

Exit mobile version