BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Kita tinggal menghitung detik detik pergantian tahun 2024 ke 2025.
Tidak salah kita namakan 2024 adalah tahun politik. Pileg, pilpres dan terbaru pilkada serentak seantero Nusantara sudah kita lalui. Ada suka duka, ada pemenang yang penuh senyum sumringah, dan ada yang kalah tertunduk lesu. Itulah dinamika dalam sebuah kontestasi. Baik di panggung politik maupun di panggung seni Indonesian Idol.
Presiden Prabowo pun sukses menggapai impiannya menjadi orang nomor satu di negeri ini di tahun 2024 setelah 4 kali mengikuti perhelatan demokrasi 5 tahunan. Itu berarti hampir 20 tahun waktu penantiannya. Sangat sabar dan sangat gentlemen, Mr. Pesident!
Pasti kita ingat, jelas kelihatan Pak Prabowo santun mengikuti proses demokrasi, tidak tampil dengan aura ‘jenderal’ ketika berdebat di atas panggung jelang pemilihan. Itulah contoh terbaik 2024 dalam berdemokrasi.
Pertanyaannya, jika pak Prabowo sangat demokratis berpartisipasi dalam proses 5 tahunan ini, lalu mengapa indeks demokrasi Indonesia terus merosot. Pasti ada penyebabnya.
Sesungguhnya kemerosotan indeks demokrasi Indonesia tercium menyengat sekitar tahun 2014, ketika UU Ormas yang mengebiri hak hak sipil. Tak perlu diuraikan secara rinci soal ini. Namun, peringatan dari lembaga kredibel berlevel internasional bernama Freedom House tak bisa kita anggap sepele.
Satu lagi lembaga The Economist Intelligence juga acap kali menyoroti sosok demokrasi di Indonesia yang baru menggeliat sejak era Reformasi besutan alm.Presiden BJ Habibie yang diawali dengan pembebasan tahanan politik dan kebebasan pers. Biasanya akan lebih jeli dan obyektif jika bukan diri kita menilai diri sendiri.
Contoh, 2016 The Economist Intelligence Unit sudah merilis sekian banyak bopeng di wajah tampan demokrasi Indonesia yang masih muda belia. Jika tahun 2016 , indeks demokrasi Indonesia masih menempati posisi ke 48 dari 167 negara yang diteliti, maka hanya dalam tempo 4 tahun, alias 2020, indeks demokrasi kita terperosok sampai peringkat 64 dengan skor 6.39.
Apakah perlu kita menghakimi ini sebagai abuse of power para elit parpol dan oligarkinya yang mengorbankan rakyatnya. Boleh saja.
Ini sangat disesalkan dan sesuai dengan kritik lembaga tersebut bahwa Indonesia seperti menampilkan diri sebagai negara demokrasi yang masuk kategori negara negara penuh cacat demokrasi alias flawed democracy countries.
Mari kita mengaca diri. Yang penting, buruk rupa demokrasi janganlah kita memecahi cermin yang kita tatap. Justeru luangkan waktu menatap dalam- dalam sampai sedetilnya.
Hancurkan Polarisasi, Tingkatkan Indeks Demokrasi
Era Jokowi sudah berlalu secara formal konstituisional ke era Prabowo. Namun jangan lupa, perang dingin dan bahkan sudah jadi perang terbuka seperti adanya aroma politik balas dendam antara PDIP dan Jokowi and family, cukup menyita pikiran di ujung tahun 2024.
Tak bisa dianggap sepele, meskipun polarisasi antara sekutu Jokowi dan sekutu Prabowo sudah bisa dikatakan ‘tutup buku’ sejak Prabowo masuk di kabinet Jokowi.
Toh masih ada riak riak di akar rumput. Kasus Hasto ,sekjen PDIP yang menjadi tersangka pasca beberapa hari mengumumkan pemecatan Jokowi, Gibran dan Bobby sebagai kader PDIP, bukanlah kado indah buat Prabowo dan juga buat kita rakyat jelata sambut 2025.
Sepertinya, tidak salah jika ada yang menilai bahwa masih ada antek antek Jokowi di beberapa lembaga hukum yang bisa saja siap menerkam siapa saja yang coba memantik kebobrokan kebijakan dan tingkah laku politik Jokowi dan sekutunya sebelumnya.
Manusia memang tidak ada yang sempurna. Mestinya sifat kodrati manusiawi diterima saja dan tak perlu terlalu merasa paling benar.
Sekali lagi, ini bukanlah kado indah bagi kita menyambut 2025.
Dengan mematikan sumbu polarisasi di masyarakat maka kita harapkan agar 2025 sebagai tahun perbaikan indeks demokrasi di negara yang sangat kita cintai. Kita tak perlu terlalu pesimis namun siap berbenah diri.
Kajian American Political Science Association bidang Democracy and Autocracy (vol. 18/ 3, 2020) terhadap indeks demokrasi di Indonesia diantata negara mayoritas penduduk muslim, boleh dikatakan masih lebih baik daripada Turki, misalnya.
Meskipun indeks demokrasi Indonesia di 1 dekade terakhir terus merosot, namun kita bisa menaruh harapan pada pemerintahan Prabowo yang memang kelihatan mulai melepas bayang-bayang polarisasi dengan para sekutu Jokowi, meskipun sejujurnya belum sepenuhnya berhasil karena masih banyak kaki tangan Jokowi masih sedang bercokol dan mencengkram di beberapa institusi dan lembaga negara.
Presiden Prabowo memang mesti menerapkan seni berdemokrasi tingkat tinggi [high class democracy art] untuk meredupkan api ambisi dalam ‘sekutu’ Jokowi dalam pemerintahan Prabowo yang memang pasti berdampak pada tendensi depresiasi demokrasi dan bahkan upaya tersembunyi delegitimasi pemerintahan Prabowo ke depan.
Ongkos pesta demokrasi memang sangat besar namun yang paling penting adalah penyelenggaraan pesta demokrasi dimana rakyat sebagai subyek demokrasi. Bukan obyek demokrasi.
Selamat tinggal 2024 dan selamat datang 2025.
Penulis, Justino Djogo,MA.MBA
Direktur Eksekutif Forum Dialog Nusantara.